SAKA Bakti Husada Kota Malang

Kamis, 28 Maret 2013

Mengenal Tokoh Sang Pemula, RM. Tirtoadisuryo


 
Tak banyak orang Indonesia yang tahu bahwa RM. Tirtoadisuryo merupakan salah satu tokoh pergerakan nasional pada jaman penjajahan Belanda. Jika tidak karena jasa sejarawan Pramoedya Ananta Toer yang menuliskan kisah RM. Tirtoadisuryo dalam 4 roman fenomenal sebagai saksi  sejarah, mungkin nama RM. Tirtoadisuryo akan terkubur dalam kenangan masa lalu. Siapakah RM. Tirtoadisuryo? Mari kita mengenalnya lebih dekat.
Tirtoadisuryo adalah orang yang turut serta mengukir sejarah Indonesia. Pada jaman pergerakan, ia seusia dengan RA. Kartini. Tirtoadisuryo lahir di Blora 1880 dan meninggal 7 Desember 1918, merupakan seorang priyayi cukup tinggi. Ayahnya yaitu Raden Ngabehi Muhammad Chan Tirtodipuro (petugas pajak), sedangkan kakeknya Raden Mas Tumenggung Tirtonoto, Bupati Bojonegoro.
Tirtoadisuryo memiliki sifat yang ulet dalam menyampaikan gagasannya mengenai Indonesia. perjuangannya hampir sama dengan RA. Kartini yaitu ingin sebuah pergerakan dalam diri Indonesia. Tirtoadisuryo pandai memanfaatkan kesempatan yang saat itu dibuka oleh  rezim kolonial dalam bidang sosial-ekonomi dan politik. Tirtoadisuryo berhasil mempelopori perubahan di berbagai aspek bidang khususnya di bidang jurnalistik, pengorganisasian rakyat, bisnis, dan gerakan penyadaran tentang emansipasi rakyat yang tertindas.
Profesi pertama yang dijalani Tirtoadisuryo adalah sebagai wartawan inlander. Sebagai seorang jurnalis, ia memjembatani perjuangan rakyat  Indonesia agar tidak kehilangan jati diri dan martabat bangsa karena pengaruh imperialisme dan kolonialisme. Melalui tulisan-tulisannyalah ia berusaha merubah jalan pemikiran rakyat menuju pergerakan dan kesempurnaan. Salah satu bentuk pergerakan yang dilakukan Tirtoadisuryo adalah membebaskan segala bentuk pekerjaan dari sistem kepegawaian yang dibentuk kolonial. Hal ini sangat merugikan rakyat pada umumnya serta menguntungkan bagi para priyayi yang bercokol di administrasi kepegawaian pada jaman itu. Tirtoadisuryo menginginkan kebebasan di bidang perdagangan, bekerja di kebun, dan kerajinan untuk melatih kemandirian di kalangan pribumi.
Karier Tirtoadisuryo sebagai jurnalis banyak terekam dalam kegiatannya yang luar biasa, baik dalam kegiatan tulus-menulis, maupun saat mengelola persuratkabaran. Dalam perjalanan kariernya sudah berhasil mengelola sekitar 14 terbitan yang di dalamnya dia juga berperan sebagai pemimpin dan penulis tetap. Yaitu Pembrita Betawi, Soenda Berita, Medan Priyayi, Soeloeh Keadilan, Poetri Hindia, Sarotomo, Soeara B.O.W., Soeara Spoor dan Tram, Soearaurna. Dalam sejarah Indonesia, ia merupakan kepala redaktur di perusahaan penerbitan di sebuah Hindia Belanda.
 
 
Pada Tahun 1909 di Batavia, Tirtoadisuryo mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah, yang kemudian ia  disebut sebagai nominal founder dari Sarekat Islam yang berawal dari Sarekat Dagang Islam. Kemudian pada tahun 1911 mendirikan Sarekat Dagang Islam di Bogor 1911. Ia juga melebarkan sayap SDI di kota Solo sebagai cabang Bogor yang kemudian diketuaki oleh Samanhudi sebagai the real leader. Tirtoadisuryo juga berperan dalam mendirikan Sarekat Priyayi (1906) yang bertujuan untuk memajukan pendidikan pribumi Jawa. Adapun Sarekat Priyayi akhirnya dijadikan basis mengelola koran mingguan yang ia ciptakan yaitu Medan Priyayi pada tahun 1907-1912. Melalui Medan Priyayi inilah ia banyak mengemukakan keluhan-keluhan rakyat kecil terhadap perlakuan kalangan priyayi tinggi dan para pegawai pemerintah kolonial Belanda.
Tirtoadisuryo adalah seorang yang mampu melintasi batas dan tidak berkutat saja dalam kubangan jebakan status quo zamannya. Ia berpikiran merdeka yang benar-benar paham makna perubahan zaman untuk  sebuah pergerakan. Sifatnya yang berani itulah yang menjadikan ia sebagai tonggak sejarah pergerakan baru Indonesia sehingga lahir pergerakan-pergerakan lain untuk memperjuangan kemerdekaan Indonesia pada saat itu. Itulah mengapa ia dijuluki Sang Pemula oleh Pramoedya Ananta Toer.
 
Sumber: id/wikipedia.org & Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar