Tak
banyak orang Indonesia yang tahu bahwa RM. Tirtoadisuryo merupakan
salah satu tokoh pergerakan nasional pada jaman penjajahan Belanda. Jika
tidak karena jasa sejarawan Pramoedya Ananta Toer yang menuliskan kisah
RM. Tirtoadisuryo dalam 4 roman fenomenal sebagai saksi sejarah,
mungkin nama RM. Tirtoadisuryo akan terkubur dalam kenangan masa lalu.
Siapakah RM. Tirtoadisuryo? Mari kita mengenalnya lebih dekat.
Tirtoadisuryo
adalah orang yang turut serta mengukir sejarah Indonesia. Pada jaman
pergerakan, ia seusia dengan RA. Kartini. Tirtoadisuryo lahir di Blora
1880 dan meninggal 7 Desember 1918, merupakan seorang priyayi cukup
tinggi. Ayahnya yaitu Raden Ngabehi Muhammad Chan Tirtodipuro (petugas
pajak), sedangkan kakeknya Raden Mas Tumenggung Tirtonoto, Bupati
Bojonegoro.
Tirtoadisuryo
memiliki sifat yang ulet dalam menyampaikan gagasannya mengenai
Indonesia. perjuangannya hampir sama dengan RA. Kartini yaitu ingin
sebuah pergerakan dalam diri Indonesia. Tirtoadisuryo pandai
memanfaatkan kesempatan yang saat itu dibuka oleh rezim kolonial dalam
bidang sosial-ekonomi dan politik. Tirtoadisuryo berhasil mempelopori
perubahan di berbagai aspek bidang khususnya di bidang jurnalistik,
pengorganisasian rakyat, bisnis, dan gerakan penyadaran tentang
emansipasi rakyat yang tertindas.
Profesi pertama yang dijalani Tirtoadisuryo adalah sebagai wartawan inlander.
Sebagai seorang jurnalis, ia memjembatani perjuangan rakyat Indonesia
agar tidak kehilangan jati diri dan martabat bangsa karena pengaruh
imperialisme dan kolonialisme. Melalui tulisan-tulisannyalah ia berusaha
merubah jalan pemikiran rakyat menuju pergerakan dan kesempurnaan.
Salah satu bentuk pergerakan yang dilakukan Tirtoadisuryo adalah
membebaskan segala bentuk pekerjaan dari sistem kepegawaian yang
dibentuk kolonial. Hal ini sangat merugikan rakyat pada umumnya serta
menguntungkan bagi para priyayi yang bercokol di administrasi
kepegawaian pada jaman itu. Tirtoadisuryo menginginkan kebebasan di
bidang perdagangan, bekerja di kebun, dan kerajinan untuk melatih
kemandirian di kalangan pribumi.
Karier
Tirtoadisuryo sebagai jurnalis banyak terekam dalam kegiatannya yang
luar biasa, baik dalam kegiatan tulus-menulis, maupun saat mengelola
persuratkabaran. Dalam perjalanan kariernya sudah berhasil mengelola
sekitar 14 terbitan yang di dalamnya dia juga berperan sebagai pemimpin
dan penulis tetap. Yaitu Pembrita Betawi, Soenda Berita, Medan
Priyayi, Soeloeh Keadilan, Poetri Hindia, Sarotomo, Soeara B.O.W.,
Soeara Spoor dan Tram, Soearaurna. Dalam sejarah Indonesia, ia merupakan kepala redaktur di perusahaan penerbitan di sebuah Hindia Belanda.
Pada Tahun 1909 di Batavia, Tirtoadisuryo mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah, yang kemudian ia disebut sebagai nominal founder
dari Sarekat Islam yang berawal dari Sarekat Dagang Islam. Kemudian
pada tahun 1911 mendirikan Sarekat Dagang Islam di Bogor 1911. Ia juga
melebarkan sayap SDI di kota Solo sebagai cabang Bogor yang kemudian
diketuaki oleh Samanhudi sebagai the real leader. Tirtoadisuryo
juga berperan dalam mendirikan Sarekat Priyayi (1906) yang bertujuan
untuk memajukan pendidikan pribumi Jawa. Adapun Sarekat Priyayi akhirnya
dijadikan basis mengelola koran mingguan yang ia ciptakan yaitu Medan Priyayi pada tahun 1907-1912. Melalui Medan Priyayi
inilah ia banyak mengemukakan keluhan-keluhan rakyat kecil terhadap
perlakuan kalangan priyayi tinggi dan para pegawai pemerintah kolonial
Belanda.
Tirtoadisuryo adalah seorang yang mampu melintasi batas dan tidak berkutat saja dalam kubangan jebakan status quo
zamannya. Ia berpikiran merdeka yang benar-benar paham makna perubahan
zaman untuk sebuah pergerakan. Sifatnya yang berani itulah yang
menjadikan ia sebagai tonggak sejarah pergerakan baru Indonesia sehingga
lahir pergerakan-pergerakan lain untuk memperjuangan kemerdekaan
Indonesia pada saat itu. Itulah mengapa ia dijuluki Sang Pemula oleh Pramoedya Ananta Toer.
Sumber: id/wikipedia.org & Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar